Sejak dijadikan bahasa nasional, bahasa pengantar, dan bahasa resmi,
bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahaan ejaan. Ejaan
tersebut ialah Ejaan Van Ophuysen, Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi,
dan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan.
Pada tahun 1901 lahirlah Ejaan Van Ophuysen. Ejaan ini berlandaskan aturan ejaan Melayu dengan huruf Latin yang dirancang oleh Charles Adrian Van Ophuysen dengan bantuan Engku Nawawi gelar St. Makmur dan Muhammad Taib Soetan Ibrahim. Waktu itu, usaha ke arah penyempurnaan ejaan mulai dirintis. Hal itu terbukti dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1983 di Solo. Kongres menyarankan agar ejaan lebih diinternasionalkan. Selanjutnya, pada tahun 1947, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Ejaan Republik sebagai ejaan resmi. Penetapan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 19 Maret 1947. Ejaan ini merupakan penyederhanaan ejaan terdahulu.
Misalnya: badjoe menjadi badju.
tjoetjoe menjadi tjutju.
Kongres Bahasa Indonesia ke-2 diadakan pada tahun 1945 di Medan. Pada kongres tersebut, selain dibicarakan asal-usul bahasa Indonesia juga dibicarakan penyusunan peraturan ejaan yang praktis bagi bahasa Indonesia. Pada tahun 1956 dibentuklah panitia Priyono-Katopo. Panitia itu berhasil merumuskan patokan-patokan baru. Rumusan tersebut melahirkan Ejaan Melindo (Melayu Indonesia), ejaan yang berdasarkan konsep perjanjian persahabatan antara Persekutuan Tanah Melayu dan Indonesia dengan usaha mempersamakan kedua bahasa tersebut, tetapi perkembangan ejaan ini terhenti karena situasi politik, Selanjutnya, pada tahun 1967 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengesahkan panitia Ejaan Bahasa Indonesia dengan tugas menyusun konsep penyempurnaan ejaan.
Pada tahun 1967, Ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi (KOTI) mengeluarkan surat tanggal 21 Februari 1967. Surat tersebut berisi rancangan peraturan ejaan terdahulu yang dipakai oleh tim KOTI sebagai pembicaraan dengan Malaysia tentang Ejaan Bahasa Indonesia dan Ejaan Malaysia. Pembicaraan tersebut diadakan di Jakarta tahun 1966 dan Kualalumpur tahun 1967. Rancangan tersebut baru dikeluarkan bersama oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mashuri) dan Menteri Pelajaran Malaysia (Husen On). Rancangan tersebut dipakai sebagai bahan pengembangan bahasa nasional kedua negara itu. Selanjutnya, rancangan itu diseminarkan pada tahun 1972 di Puncak dan diperkenalkan kepada masyarakat/setiap departemen dan ditetapkan tanggal 20 Mei 1972. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1972 hasil seminar tersebut diresmikan menjadi EYD. Kata badju misalnya, dalam EYD ditulis baju dan tjutju menjadi cucu hingga saat ini.