Manusia dan Penderitaan
Manusia dan Penderitaan
Sebelum nya kita harus tau dulu apa sih pengertian dari penderitaan itu
sendiri? Penderitaan adalah menanggung atau menjalani sesuatu yang
sangat tidak menyenangkan yang dapat di rasakan oleh manusia. Setiap
manusia pasti pernah mengalami penderitaan baik secara fisik maupun
batin. Penderitaan juga termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas
penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang
ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat tidaknya suatu
intensitas penderitaan. Suatu peristiwa yang di anggap penderitaan oleh
seseorang belum tentu merupakan suatu penderitaan bagi orang lain. Dapat
pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang,
atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagian.
Memang harus diakui, di antara kita dan dalam masyarakat masih
terdapat banyak orang yang sungguh-sungguh berkehendak baik, yaitu
manusia yang merasa prihatin atas aneka tindakan kejam yang ditujukan
kepada sesama manusia yang tidak saja prihatin, melainkan berperan
serta mengurangi penderitaan sesamanya, bahkan juga berusaha untuk
mencegah penderitaan atau paling tidak menguranginya, serta manusia
yang berusaha keras tanpa pamrih untuk melindungi, memelihara dan
mengembangkan lingkungan alam ciptaan secara berkelanjutan. Ada
keinginan alamiah manusia untuk menghindari penderitaan. Tetapi justru
penderitaan itu merupakan bagian yang terkandung di dalam
kemanusiaannya.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar
dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam
hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat.
Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain,
apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang
dapat dapat dicatat disini adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme.
Misalnya Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf Denmark, sebelum
menjadi seorang filsuf besar, masa kecilnya penuh penderitaan.
Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah
mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum
menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya,
termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini
menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia
menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan
ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf,
menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari
cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak
kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya,
bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia
menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.
Penderitaan dan Kenikmatan
Tujuan
manusia yang paling populer adalah kenikmatan, sedangkan penderitaan
adalah sesuatu yang selalu dihindari oleh manusia. Oleh karena itu,
penderitaan harus dibedakan dengan kenikmatan, dan penderitaan itu
sendiri sifatnya ada yang lama dan ada yang sementara. Hal ini
berhubungan dengan penyebabnya. Macam-macam penderitaan menurut
penyebabnya, antara lain: penderitaan karena alasan fisik, seperti
bencana alam, penyakit dan kematian; penderitaan karena alasan moral,
seperti kekecewaan dalam hidup, matinya seorang sahabat, kebencian orang
lain, dan seterusnya.Semua ini menyangkut kehidupan duniawi dan tidak
mungkin disingkirkan dari dunia dan dari kehidupan manusia.
Penderitaan
dan kenikmatan muncul karena alasan “saya suka itu” atau “sesuatu itu
menyakitkan”. Kenikmatan dirasakan apabila yang dirasakan sudah
didapat, dan penderitaan dirasakan apabila sesuatu yang menyakitkan
menimpa dirinya. Aliran yang ingin secara mutlak menghindari
penderitaan adalah hedonisme, yaitu suatu pandangan bahwa kenikmatan
itu merupakan tujuan satu-satunya dari kegiatan manusia, dan kunci
menuju hidup baik. Penafsiran hedonisme ada dua macam, yaitu:
1.
Hedonisme psikologis yang berpandangan bahwa semua tindakan
diarahkan untuk mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan.
2. Hedonisme etis yang berpandangan bahwa semua tindakan ‘harus’ ditujukan kepada kenikmatan dan menghindari penderitaan.
Kritik terhadap hedonisme ialah
bahwa tidak semua tindakan manusia hedonistis, bahkan banyak orang
yang tampaknya merasa bersalah atas kenikmatan-kenikmatan mereka. Dan
hal ini menyebabkan mereka mengalami penderitaan. Pandangan Hedonis
psikologis ialah bahwa semua manusia dimotivasi oleh pengejaran
kenikmatan dan penghindaran penderitaan. Mengejar kenikmatan sebenarnya
tidak jelas, sebab ada kalanya orang menderita dalam rangka
latihan-latihan atau menyertai apa yang ingin dicapai atau dikejarnya.
Kritik Aristoteles ialah bahwa puncak etika bukan pada kenikmatan,
melainkan pada kebahagiaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kenikmatan
bukan tujuan akhir, melainkan hanya “pelengkap” tindakan. Berbeda
dengan John Stuart Mill yang membela Hedonisme melalui jalan terhormat,
utilitarisme yaitu membela kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi.
Suatu tindakan itu baik sejauh ia lebih “berguna” dalam pengertian ini,
yaitu sejauh tindakan memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan
penderitaan.
Penderitaan dan Kasihan
Kembali
kepada masalah penderitaan, muncul Nietzsche yang memberontak terhadap
pernyataan yang berbunyi: “Dalam menghadapi penderitaan itu, manusia
merasa kasihan”. Menurut Nietzche, pernyataan ini tidak benar,
penderiutaan itu adalah suatu kekurangan vitalitas. Selanjutnya ia
berkata, “sesuatu yang vital dan kuat tidak menderita, oleh karenanya ia
dapat hidup terus dan ikut mengembangkan kehidupan semesta alam. Orang
kasihan adalah yang hilang vitaliatasnya, rapuh, busuk dan runtuh.
Kasihan itu merugikan perkembangan hidup”. Sehingga dikatakannya bahwa
kasihan adalah pengultusan penderitaan. Pernyataan Nietzsche ini ada
kaitannya dengan latar belakang kehidupannya yang penuh penderitaan. Ia
mencoba memberontak terhadap penderitaan sebagai realitas dunia, ia
tidak menerima kenyataan. Seolah-olah ia berkata, penderitaan jangan
masuk ke dalam hidup dunia. Oleh karena itu, kasihan yang tertuju kepada
manusia harus ditolak, katanya.
Pandangan Nietzsche tidak dapat disetujui karena :
1. Di mana letak humanisnya dan aliran existensialisme.
2. Bahwa penderitaan itu ada dalam hidup manusia dan dapat diatasi dengan sikap kasihan.
3. Tidak mungkin orang yang membantu penderita, menyingkir dan senang bila melihat orang yang menderita.
Bila
demikian, maka itu yang disebut sikap sadisme. Sikap yang wajar adalah
menaruh kasihan terhadap sesama manusia dengan menolak penderitaan,
yakni dengan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan penderitaan, dan
bila mungkin menghilangkannya.
Menurut saya: Setiap
manusia pasti pernah mengalami suatu penderitaan yang menyakitkan.
Penderitaan hanya bisa kita rasakan dalam hati dan terjadi pada
kenyataan hidup. Penderitaan bisa datang kapan saja tergantung kondisi
diri kita sendiri. Kebanyakan penderitaan itu dialami oleh rakyat yang
kurang mampu, seharusnya kita sebagai manusia harus saling membantu.
Setidaknya dengan memberi uang ataupun suatu pekerjaan yang layak itu
sudah untuk membantunya. Penderitaan itu sangat menyakitkan dan sangat
tidak menyenangkan, apalagi orang yang deket dan orang yang kita sayang
mengalami bencana rasanya hati ini tidak terima dengan kejadian
tersebut. Kita sebagai manusia harus menerima suatu penderitaan dengan
hati yang ikhlas karena itu merupakan suatu cobaan dari allah untuk
mengukur seberapa ketabahan kita terhadap penderitaan tersebut. Allah
maha mendengar dan allah juga maha penyayang setiap umatnya yang mau
mengikuti jalannya pasti allah akan memberi apa yang mereka mau namun
allah akan mengujinya dulu dengan suatu cobaan yang berat. Manusia tidak
akan pernah lepas dari suatu penderitaan baik secara fisik maupun
secara batin. Manusia dan penderitaan saling berhubungan satu sama lain
dan akan terus terikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar